Analisis Jurnal ”Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004” dari Perspektif Politik Praktis dan Reformasi Administrasi di Negara Berkembang

 

Analisis Jurnal Pelanggaran Pemilu 2004

            Pemilihan Umum atau pemilu merupakan pesta demokrasi rakyat Indonesia yang terjadi setiap lima tahun sekali. Pemilu merujuk pada pemilihan anggota legislatif dan presiden Republik Indonesia. Dalam pelaksanaannya tak jarang terjadi beberapa kendala teknis maupun substantif di dalamnya. Kendala-kendala tersebut dapat dilihat dari salah satu jurnal yang membahas tentang pemilu legislatif pada tahun 2004 silam. Penulis jurnal yang berjudul “Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004” tersebut berfokus pada identifikasi dan analisis pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama pemilu tersebut. Berbagai pelanggaran yang menjadi atensi utama jurnal tersebut kebanyakan berhubungan dengan praktik politik praktis. Selain itu, pelanggaran yang terjadi juga memiliki korelasi dengan masalah administrasi negara yang semrawut.

            Bila dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu legislatif tahun 2004 berjalan relatif aman terutama pada masa kampanye. Tindak kekerasan di antara massa peserta pemilu yang terjadi pada masa kampanye pemilu tersebut mengalami penurunan dibanding dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Namun kemajuan ini tidak dibarengi dengan kemajuan pada aspek-aspek lain sehingga masih banyak terjadi pelanggaran pada pemilu kali ini.

            Berbagai pelanggaran yang terjadi berhubungan dengan politik praktis. Misalnya saja masih marak terjadi politik uang (money politics). Praktik ini seakan sudah mendarah daging di dalam tubuh masyarakat Indonesia. Kendati demikian, pihak-pihak terkait masih belum mampu untuk meminimalisir praktik ilegal ini dengan dalih tidak adanya hukum yang bisa mewadahi penindakan pelaku politik uang, khususnya pada pemilu ini. Lalu apa sajakah pelanggaran-pelanggaran di dalam pemilu legislatif pada tahun 2004 ini? Dan apa korelasinya dengan politik praktis dan reformasi administrasi? Mari kita simak pembahasan berikut.

            Di dalam jurnal ini, pelanggaran pertama yang disoroti adalah proses pendataan dan pendaftaran pemilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tercatat 30% masyarakat Indonesia tidak bisa mengikuti pemilu 2004 meskipun mereka memiliki hak untuk memilih. Hal tersebut karena mereka tidak terdaftar sebagai pemilih di dalam data KPU. Proses pendataan di lapangan sebenarnya dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS). Nantinya hasil pendataan ini yang akan diolah oleh KPU untuk menentukan daftar pemilih sementara (DPS). Namun metode pendataan yang dilakukan oleh BPS sedikit tidak efektif karena tidak melakukan pendataan secara orang perseorang melainkan menggunakan jasa informan.

            Sebenarnya KPU dapat mengatasi permasalahan di atas dengan mengumumkan DPS di setiap kelurahan atau desa. Apabila ada orang yang berhak memilih namun tidak terdaftar, orang tersebut bisa langsung di data saat itu juga. Namun langkah ini tidak ditempuh oleh KPU karena KPU tidak konsisten terhadap jadwal pemilu. Hilangnya hak rakyat untuk memilih merupakan pelanggaran hukum dan KPU berkewajiban untuk bertanggung jawab. Evaluasi merupakan jalan yang penting untuk mengefektifkan suatu badan negara. Dengan evaluasi, birokrasi-birokrasi yang menghambat jalannya pemilu bisa dipangkas sebanyak mungkin. Dalam hal ini reformasi administrasi dalam tubuh KPU perlu dilakukan demi menghindarkan hilangnya hak rakyat untuk memilih.

            Pelanggaran lain yang terjadi adalah manipulasi data oleh petugas pemungutan suara. Pelanggaran jenis ini banyak terjadi di pemilu 2004. Misalnya saja jumlah suara yang diperoleh Partai Keadilan Sejahtera di TPS Kelurahan Enggal, Kecamatan Tanjung Karang Pusat, Bandar Lampung  sebanyak 668 suara. Namun ketika dimasukkan ke data entry di Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Tanjung Karang Pusat hanya berjumlah 88 suara. Manipulasi data termasuk dalam pelanggaran pemilu karena mengandung unsur penipuan dan pembohongan.

            Latar belakang terjadinya manipulasi data bisa terjadi karena panjangnya sistem distribusi suara dari daerah ke pusat yang dilakukan oleh KPU. Prosedur yang panjang membuka peluang kecurangan yang dilakukan berbagai partai yang memiliki kepentingan. Politik praktis yang dilakukan partai-partai tersebut mengakibatkan tercederainya demokrasi Indonesia.

            Masalah netralitas birokrasi sipil juga tidak dapat dikesampingkan. Para aparatur sipil dituntut untuk bersikap netral setiap akan diadakannya pemilu. Aparatur sipil seperti kepala desa yang menjadi panutan rakyatnya tidak boleh memihak kepada salah satu partai peserta pemilu. Hal ini dapat berakibat rakyatnya ikut terpengaruh akibat sikapnya tersebut. Oleh karenanya ia harus bersikap senetral mungkin.

            Aplikasi ide di atas tidak sejalan dengan kenyataan yang ada khususnya pada pemilu 2004. Masih banyak aparatur sipil yang condong kepada Partai Golkar. Selain itu, beberapa kepala desa dan camat juga dikirimi hadiah dari beberapa partai peserta pemilu. Politik uang rasanya tidak hanya menjangkiti rakyat biasa namun juga banyak dari aparatur sipil negara yang seharusnya bersikap netral pada masa-masa pemilu. Politik praktis yang dilakukan semakin menambah tidak sehatnya pemilu 2004.

            Pelanggaran terakhir yang diidentifikasi penulis jurnal tidak lain adalah kentalnya aroma politik uang pada pemilu 2004. Sudah menjadi rahasia umum apabila di setiap pemilihan pasti selalu ada praktik politik uang. Bahkan pada pemilu 2004, praktik ini dilakukan secara terang-terangan oleh partai yang memiliki simpatisan yang besar seperti Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Praktik politik uang bisa saja pemberian uang tunai, sembako, hadiah, dan sebagainya yang melibatkan materi.

            Praktik politik uang ini menyalahi asas demokrasi Indonesia karena rakyat tidak lagi memilih berdasarkan kompetensi calon legislatif maupun calon presiden. Rakyat hanya memilih siapa yang memberikan jumlah uang yang lebih besar. Pada pemilu 2004 khususnya, praktik ini semakin subur karena didukung kondisi sosial dan ekonomi rakyat yang kurang makmur sehingga mereka akan menerima apapun untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

            Politik praktis telah banyak melanggar dan mencederai jalannya demokrasi di Indonesia. Sebabnya adalah politik praktis itu politik kepentingan. Oleh karenanya, pihak-pihak yang memiliki kepentingan akan selalu menghalalkan segala cara untuk menggapai tujuannya tersebut meskipun berdampak negatif terhadap demokrasi Indonesia.

            Pelanggaran-pelanggaran yang telah disebutkan di atas tak luput dari kesalahan sistem administrasi negara yang teralu berbelit-belit. Hal ini mengakibatkan terbuang sia-sia waktu yang ada hanya untuk mengurus prosedur yang kurang penting. Panjangnya sistem administrasi juga membuka peluang pihak luar untuk mengintervensi jalannya pemilu demi kepentingan mereka semata. Tak ayal jika reformasi administrasi negara merupakan suatu urgensi demi terciptanya demokrasi yang bersih. Reformasi administrasi negara dapat dilakukan dengan melakukan evaluasi terlebih dahulu, bagian mana yang menghambat sekaligus yang membuka celah bagi tindak kecurangan. Dari hasil evaluasi itu kemudian dapat dipangkas bagian yang kurang efektif tersebut.


Jurnal yang dianalisis klik disini

0 Komentar