Catatan Webinar Law Connection 25/07/2021

Pemateri 1 :

Pemateri pertama memberikan tanggapan terhadap kebijakan PPKM dari sudut pandang sosial. Pemateri menjelaskan bahwa dalam menerapkan kebijakan PPKM, pemerintah seolah kurang atau bahkan tidak mau menanggung konsekuensi logis dari kebijakan tersebut. Ketidakpedulian ini membuat penerapan PPKM tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan kasus positif COVID-19 di Indonesia, khususnya Jawa dan Bali. Bahkan yang sebenarnya terlihat adalah dampak sosial akibat penerapan kebijakan PPKM tersebut. Misalnya banyaknya jumlah warga yang kehilangan pekerjaan serta penurunan omzet para pengusaha. 

 

Lebih lanjut pemateri menjelaskan bahwa saat ini merupakan situasi anomali. Dikatakan demikian karena meskipun saat ini merupakan zaman kemajuan teknologi, masih banyak masyarakat yang lebih memercayai berita hoaks daripada fakta ilmiah termasuk dari kalangan intelektual. Akibat hoaks-hoaks yang terus menjejali media sosial, sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi tidak memercayai adanya COVID-19.

 

Ketidakpercayaan masyarakat selain disebabkan oleh hoaks, juga disebabkan oleh ulah pemerintah sendiri. Pada awal pandemi dulu sikap pemerintah seolah menganggap enteng virus COVID-19 yang pada saat itu belum masuk ke Indonesia. Sikap ini membuat pemerintah tidak siap dalam menghadapi pandemi saat ditemukannya kasus pertama di Indonesia. Akhirnya hingga saat ini pemerintah kelimpungan dalam menangani situasi darurat ini. Singkat kata, ketidakpercayaan masyarakat terhadap COVID-19 disebabkan oleh dua hal, yaitu hoaks dan penanganan pemerintah terhadap pandemi ini.


Pemateri 2

Pemateri kedua memaparkan materinya dari perspektif politik. Di awal materi, pemateri menjelaskan bahwa reaksi masyarakat terhadap kebijakan PPKM sangat beragam. Ada yang bereaksi optimis-positif dan sebaliknya pesimis-negatif. Reaksi pertama kebanyakan diberikan oleh kalangan masyarakat menengah ke atas atau dari golongan pegawai pemerintah sendiri. Sedangkan untuk reaksi kedua cenderung lebih banyak diberikan oleh mayoritas pedagang kecil dan masyarakat menengah ke bawah. Hal ini masuk akal karena untuk golongan pertama tadi finansial mereka memadai meskipun harus stay at home. Sebaliknya, untuk golongan kedua akan sangat menyusahkan karena penghasilan mereka bersumber dari penjualan harian.


Dalam menangani pandemi COVID-19, pemerintah telah banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakannya. Sebagai contoh kebijakan PPKM baru-baru ini. Sejak awal dalam menerapkan model penanganan seperti ini pemerintah hanya mengubah-ubah istilah saja. Mulai dari PSBB, PPKM, PPKM Mikro, PPKM Darurat, hingga PPKM Level 1-4. Namun perubahan istilah tidak dibarengi dengan perubahan dampak. Perlu diketahui bahwa perubahan istilah tanpa adanya perubahan dampak yang signifikan bukan merupakan tindakan yang bijak.


Pemateri mengingatkan bahwa untuk menerapkan kebijakan PPKM, pemerintah harus memastikan jaminan sosial dasar bagi masyarakat. Jaminan sosial dasar ini tidak boleh disamaratakan, Realisasi jaminan sosial dasar harus disesuaikan dengan kebutuhan tiap lapisan masyarakat yang ada. Jadi, jaminan sosial dasar sifatnya tidak universal.


Situasi pandemi saat ini merupakan situasi krisis. Situasi krisis kiranya membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat. Namun tidak dapat dipungkiri terdapat banyak pernyataan-pernyataan yang beredar di tengah penanganan tersebut. Pernyataan yang patut diwaspadai oleh masyarakat adalah pernyataan anti-sains, lebih-lebih pernyataan tersebut dikeluarkan oleh orang yang tidak ahli di bidang tersebut. Pemateri mengungkapkan bahwa pernyataan yang seperti ini akan menyebabkan perbedaan dalam penanganan. Misalnya pernyataan oleh seorang kepala daerah yang menyatakan bahwa virus COVID-19 tidak akan masuk ke daerahnya. Virus itu akan mati sebelum masuk ke daerahnya karena masyarakat di daerah tersebut kuat. Sudah tentu pernyataan seperti ini tidak mempunyai dasar sains sama sekali dan dikeluarkan oleh orang yang tidak ahli di bidang kesehatan.


Pada masa krisis, tingkatan prioritas keselamatan dimulai dari public safety, economy, dan yang terakhir reputation. Public safety harus didahulukan daripada dua prioritas lain saat masa krisis. Setelah public safety terpenuhi maka kemudian menyelamatkan economy. Seterusnya dilakukan perbaikan reputation sebagai langkah akhir.


Namun pada kenyataannya, pemerintah cenderung lebih mengutamakan reputation terlebih dahulu daripada public safety. Khususnya yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintahan. Banyak di antara mereka yang memberikan bantuan kepada masyarakat di masa krisis ini dengan menampilkan figur mereka sendiri pada bantuan yang diberikan. Seolah-olah mereka itu penyelamat dan perlu dipilih kembali pada pemilihan selanjutnya. Biasanya disebut kampanye terselubung.


Selanjutnya, pemateri menyebutkan ada beberapa cara kerja kebijakan yang harus dilakukan pada saat situasi krisis. Cara kerja tersebut antara lain:

  1. Mengubah logic administrasi normal
  2. Mempercepat pelayanan dan penanganan
  3. Mempermudah pelayanan
  4. Tidak berbasis pada soal-soal administrasi
  5. Penanganan based on data

Kesimpulannya, pada situasi krisis pemerintah sebisa mungkin mengurangi persoalan-persoalan administrasi dan dengan begitu bisa mempercepat pelayanan serta lebih mengutamakan public safety.

Pemateri kemudian mengkritik kebijakan pemerintah soal keharusan mengantongi surat izin jika ingin masuk ke daerah lain, misalnya surat keterangan kerja, surat vaksinasi, dan lain-lain. Pemateri melihat bahwa masalahnya bukan terletak pada soal surat-surat tersebut saja. Melainkan pada bagaimana mengurangi dampak penyebaran COVID-19 meskipun orang sudah mengantongi berbagai surat izin tersebut.

Ketidaksiapan pemerintah dalam penanganan COVID-19 membuka peluang bagi pemerintah untuk melegitimasi kekerasan terhadap warga negara dengan alasan keadaan darurat. Artinya pemerintah menormalisasi segala tindakannya, termasuk kekerasan, terhadap warga negaranya dengan alasan kebijakan situasi darurat.

Di samping itu, pemaparan data harian lewat situs-situs resmi milik pemerintah tidak menimbulkan dampak yang terlalu signifikan terhadap kemajuan penanganan COVID-19. Usaha pemaparan data hanya dilakukan dengan menjelaskan peningkatan atau penurunan kasus harian tanpa adanya alasan mengapa atau bagaimana peningkatan atau penurunan tersebut terjadi. Pemaparan seperti ini nampaknya tidak akan memberikan bantuan yang berarti.

Kesimpulan dari keseluruhan penjelasan pemateri di atas dapat dijadikan dua poin berikut:
  1. Perubahan dampak kebijakan lebih penting daripada perubahan istilah saja.
  2. Penjelasan terhadap angka-angka dalam data (meliputi bagaimana dan mengapa) lebih penting daripada angka-angka itu sendiri.

Selain memberikan kritik dan pandangannya, pemateri juga memberikan alternatif penyelesaiannya seperti penjelasan berikut:
Menurut pemateri, penanganan COVID-19 dapat dilakukan dengan menerapkan Local Lockdown. Local Lockdown yang dilakukan tidak disamaratakan untuk semua daerah. Artinya memberlakukan Local Lockdown dengan skala prioritas. Skala prioritas tertinggi bisa diterapkan pada daerah zona hitam atau zona merah. Seterusnya kepada daerah-daerah yang rendah kasus atau zona hijau. Dengan penerapan skala prioritas seperti ini, maka subsidi dana penanganan bisa diutamakan terlebih dahulu kepada daerah prioritas. Selain itu, daerah-daerah zona hijau yang telah diberi dana penanganan namun tidak digunakan bisa melakukan subsidi silang kepada daerah zona hitam dan merah. Inti dari solusi ini adalah tidak membiarkan dana penanganan mengendap di satu tempat. Dana tersebut harus dimanfaatkan sebisa mungkin demi penanganan yang lebih cepat dan lebih baik.

0 Komentar