Penjual Kopi dan Beras

Cerpen Penjual Kopi dan Beras
Kala itu Tarji baru saja pulang bekerja. Ia bekerja sebagai penjual kopi keliling di alun-alun Kota Mojokerto. Penghasilan seharinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dua anak dan istrinya. Rumahnya pun hanya berupa gubuk kecil terbuat dari gedhek dengan atap genteng-genteng tua yang sudah lama tak diganti. Kalau musim hujan ia dan keluarganya seringkali harus bersusah payah menampung air yang masuk ke rumahnya.

Tarji pulang setelah sejak pagi ia berkeliling untuk menjajakan kopi di sekitaran alun-alun. Ia teringat persediaan beras di rumahnya sudah habis. Ia lantas mampir ke toko sembako yang lokasinya tak jauh dari alun-alun.

"Pak, beras sekilo, ya?" pinta Tarji kepada si penjual.

"Beras yang mana, Pak?" balas si penjual beras.

"Yang paling murah saja, Pak."

"Oh, baiklah." 

Si penjual melayani permintaan Tarji dengan cekatan.

"Ini, Pak, berasnya." kata si penjual sambil menyodorkan beras pesanan Tarji.

"Ini uangnya, Pak. Terima kasih." Tarji lalu membayar.

"Uangnya pas ya, Pak." 

Tarji hendak meninggalkan toko itu sampai si penjual memanggilnya lagi.

"Pak, tunggu sebentar." panggil si penjual dengan setengah berlari.

"Iya, Pak? Ada apa ya? Apa uang saya kurang?" sahut Tarji.

"Oh, enggak, Pak. Bapak ini penjual kopi, kan? Ada nggak, Pak, kopi hitam kiloan?" tanya penjual beras tadi.

"Oh, ada, Pak. Tapi saya lagi gak bawa kopinya. Habis buat jualan tadi. Kalau bapak pesan, besok bisa saya siapin."

"Wah bagus deh, Pak. Ya sudah saya pesan sekilo ya, Pak. Antarkan kesini lagi saja."

"Beres, Pak."

Tarji pulang dengan hati gembira. Bagaimana tidak, besok sudah pasti ada rezeki tambahan dari pesanan si penjual beras tadi. Setengah jam ia mengayuh sepeda kebo tua itu dan akhirnya Tarji sampai di rumah kecilnya. Ia lantas menyiapkan pesanan si penjual sembako lalu beristirahat dengan keluarga bahagianya meskipun dalam keadaaan kekurangan.

Esoknya selepas berkeliling menjual kopi yang murah harganya itu, Tarji kembali lagi ke toko kemarin yang ia hampiri untuk mengantarkan pesanan satu kilo kopi hitam bubuk. Transaksi ini berjalan terus menerus selama kurang lebih tiga bulan. Setiap minggu si penjual beras memesan kopi bubuk dari Tarji. Begitu pula Tarji, setiap persediaan berasnya habis, ia membeli beras di tempat yang sama.

Satu waktu, si penjual beras merasa kopi bubuk yang ia pesan dari Tarji terasa kurang dari sekilo. Untuk membuktikan kecurigaannya, ia menimbang kopi bubuk yang baru saja ia pesan. Benar saja, kopi bubuk yang ia terima hanya berbobot 900 gram. 

"Penjual kopi sialan. Selama ini dia menipuku. Kopi bubuk yang kupesan tak sampai sekilo! Akan kuberi dia pelajaran nanti!"

Amarah penjual beras memuncak saat esoknya ia bertemu dengan Tarji. Saat itu masih ramai-ramainya toko beras miliknya. Pembeli membeludak yang dilayani anak buahnya. Penjual beras merasa inilah saat yang cocok untuk mempermalukan penjual kopi yang telah menipunya.

"Woi penjual kopi sialan. Sini kamu!" panggil si penjual beras dengan nada meninggi.

"Saya, Pak? Ada apa ya, Pak?" tanya Tarji keheranan.

"Sialan kamu, ya! Berani-beraninya menipu saya!" bentak si penjual beras.

"Maaf, Pak, maaf. Maksudnya apa ya?" tanya lagi Tarji. Kali ini dia sedikit takut.

"Masih berlagak gak tahu ya kamu sialan! Kopi yang saya pesan dari kamu tak sampai satu kilo! Saya pesannya satu kilo, pedagang curang kamu ya!" si penjual beras menghujat Tarji sampai-sampai mereka berdua menjadi pusat perhatian di toko itu.

"Maaf, Pak, Maaf. Saya tidak bermaksud begitu. Saya tidak sengaja. Tolong maafkan saya." Tarji meminta maaf setakut-takutnya kepada si penjual beras.

"Halah pencuri selalu beralasan." bentak si penjual beras.

"Betul, Pak, saya tidak sengaja. Saya ini orang miskin. Saya tidak mampu membeli timbangan untuk menimbang kopi yang saya jual kepada bapak. Akhirnya saya cari cara supaya bisa menimbang kopi sekilo buat bapak. Saya menimbangnya dengan beras sekilo yang kapan hari bapak jual kepada saya."

Si penjual beras tercengang. Penjelasan itu didengar oleh semua orang yang kebetulan berada disana. Hampir semua orang mengurungkan niat membeli sembako disana setelah mendengar penjelasan Tarji. Menyadari dirinya di tengah keadaan memalukan, si penjual beras langsung saja menutup tokonya. Tarji pulang dengan hati selamat.

0 Komentar