Daendels Mengupah Pekerja Proyek Jalan Anyer-Panarukan, Benarkah?

 

Sejarah Jalan Anyer Panarukan Daendels

Siapa yang tidak kenal dengan Herman Willem Daendels? Ya, dia adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang berkuasa dari tahun 1808 hingga 1811. Daendels sebenarnya berkuasa di Indonesia tidak atas nama Belanda, melainkan Prancis karena pada saat itu Belanda sedang dikuasai oleh Prancis dengan rajanya Louis Bonaparte, adik kandung Napoleon Bonaparte.


Daendels ditugaskan oleh Louis untuk mempertahankan tanah Nusantara dari serangan Inggris pada waktu itu. Penugasan inilah yang memotivasi Daendels untuk memulai proyek pembangunan jalan pos yang membentang antara Anyer hingga Panarukan. Daendels memerlukan jalan ini untuk memenuhi tujuan politik dan ekonominya.


Ketika mendengar nama Daendels, mayoritas masyarakat Indonesia pasti mengasosiasikannya sebagai seorang diktator kejam yang mempekerjakan secara paksa rakyat Indonesia untuk membangun jalan trans-Jawa yang memiliki panjang mencapai seribu kilometer. Namun tahukah kalian jika Daendels ternyata mengupah para pekerja jalan tersebut?


Dilansir dari Detik.com, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengonfirmasi hal tersebut. Dia mengatakan perihal pembangunan jalan pos ini sudah diteliti oleh sejarawan Djoko Marihandono.


"Ya, benar itu. Daendels dikirim ke Jawa oleh pemerintah Prancis yang sedang menduduki Belanda. Apa yang dilakukan Daendels tentu dilaporkan dan tercatat dalam arsip Prancis. Itu yang diteliti Djoko Marihandono (kini Prof) untuk disertasi doktornya," kata Asvi saat dihubungi tim Detik, Senin (8/2/2021).


Melansir tulisan Rudy W. di laman Kompasiana.com, sejarawan Djoko Marihandono dalam penelitiannya menemukan bahwa Daendels menyiapkan setidaknya 30.000 ringgit (1 ringgit atau rijksdaalder = 2,40 gulden) dalam proyek tersebut. Anggaran tersebut tidak termasuk uang kertas kredit yang digunakan oleh Daendels.


Lebih lanjut, sejarawan Peter Carey juga membenarkan pernyataan tersebut. Dia mengatakan bahwa Daendels memang menyiapkan anggaran dana untuk proyek pembangunan tersebut.


"Setahu saya memang ada anggaran yang tersedia dari pemerintah kolonial tapi yang bertanggung jawab adalah bupati dan petinggi pribumi lokal setempat untuk mengurus." kata Peter Carey kepada tim Detik, Senin (8/2/2021).


Namun bagaimana bisa proyek dengan anggaran besar masih menelan banyak korban jiwa? Rupanya dana yang digelontorkan oleh Daendels tak semuanya mengalir kepada pekerja. Mekanisme pemberian upah kala itu adalah dari gubernur jenderal ke residen, kemudian residen ke bupati, baru bupati menyerahkannya secara langsung kepada para pekerja. Namun kenyataannya para pekerja tak memperoleh upah tersebut.


"Bukti penyerahan uang dari residen ada. Tapi dari bupati belum ada. Mungkin juga ada. Tapi yang pasti ada upah. Bukan kerja paksa," kata Djoko Marihandono dilansir dari tulisan Rudy W.


Dalam pernyataan tersebut tentu ada indikasi para pejabat pribumi waktu itu melakukan korupsi dana itu. Mekanisme pernyaluran dana yang buruk inilah salah satu faktor mengapa proyek Jalan Anyer-Panarukan menelan begitu banyak korban jiwa.


Di samping faktor tersebut, nyatanya Daendels juga sempat memberlakukan kerja paksa. Endah Sri Hartatik dalam jurnal yang dimuat dalam 'Paramita: Historical Studies Journal, 26 (2), 2016', dikatakan bahwa setelah pembangunan jalan tersebut sampai di wilayah Karangsamboeng yang merupakan wilayah kesultanan Cirebon sehingga diperlukan negosiasi terlebih dahulu untuk membebaskannya dan keuangan tidak cukup untuk membayar upah pekerja jalan serta perbaikan jalan tersebut.


Setelah negosiasi dengan Sultan Cirebon berhasil, maka pembangunan jalan raya tersebut dilanjutkan sampai ke Losari. Dengan adanya kesulitan dana tersebut, Daendels mengumpulkan semua penguasa termasuk para bupati yang berada di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tanggal 25 Mei 1808 di rumah dinas Residen Semarang di Jalan Bojong untuk meneruskan rencana pembangunan jalan raya dari Cirebon hingga Surabaya. Kesulitan yang dialami tersebut membuat negara memberikan hak penuh pembangunan jalan raya pos tersebut diserahkan kepada penguasa pribumi dengan menggunakan tenaga kerja wajib (heerendiesten). Kebijakan inilah yang disebut kerja paksa selama ini.


Gelombang pembangunan jalan dari Cirebon hingga Surabaya yang menggunakan kerja paksa telah menimbulkan banyak korban berjatuhan. Masalah ini berakar dari manajemen keuangan yang buruk sehingga membuka peluang bagi penguasa pribumi untuk melakukan korupsi. 


Kesimpulannya, Daendels memang mengupah pekerja pembangunan Jalan Anyer-Panarukan. Namun dana yang disiapkan Daendels tidak semuanya sampai ke tangan pekerja berdasarkan bukti-bukti yang ada. Di sisi lain, Daendels ternyata juga memberlakukan kerja paksa ketika keuangan pemerintah tidak cukup untuk operasional pembangunan jalan. Satu lagi fakta yang tidak terelakkan bahwa ada indikasi serius penguasa pribumi melakukan korupsi anggaran proyek pembangunan Jalan Anyer-Panarukan tersebut.


Sumber :

Detik

Klik Disini


Kompasiana

Klik Disini

Klik Disini


Jurnal Paramita

Klik Disini

1 Komentar

Unknown
Unknown mengatakan…
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻